Senin, 22 Juli 2013

FAILED is not My Ultimate Goal, But It is a Process


  • FAILED
    Ya, inilah jawaban dari perjalanan tulisan sebelumnya.
    GAGAL
    Done. Udah, itu aja.
    Colonel Harland Sanders butuh pengalaman gagal yang banyak dulu, lebih dari 1000 kali Beliau mencoba membuat resep Ayam itu, tercatat sebanyak 1433 kali Beliau mencoba. Baru kemudian Beliau sukses merintis bisnis KFC yang sampai sekarang masih bisa dinikmati anak cucu nenek ku. Tampaknya, bisnis KFC tersebut akan terus berkembang pesat hingga kehadiran generasi anak cucu kita XD. 
    Yup, gagal itu biasa. Mungkin gagal itu adalah proses. Kalo kamu ga mau gagal, ya jangan dicoba. So, kapan kamu akan sukses kalo ga mau mencoba? Kata orang-orang sih, "Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda"..
    Kisah Colonel Harland Sanders mungkin cukup mewakili pepatah itu.
    Malam sebelum tes yang kedua, tes TPA, aku pun sibuk membalik-balikan buku TPA yang ku pinjam kepada tetangga kamar sebelah. Untung senior-senior ku yang di kosan punya buku TPA. Padahal, buku TPA terbaru sebelumnya sudah ku cari-cari di Medan, tapi tak ada lagi. Stocknya kosong, banyak yang beli karena banyak calon Mahasiswa Baru yang akan mengikuti tes masuk Universitas baca buku itu. Dan malam-malam sebelumnya, di rumah Om ku (Jl. Denai), aku selalu menyempatkan membahas soal-soal TPA yang sudah ku download di rumah Tanteku (Simalingkar) siang harinya. Menulis jawaban di satu kertas, kemudian mencocokkan jawabannya di kunci jawaban. Banyak yang betul, tapi juga ada yang salah.
    Dalam perjalanan pulang dari Medan ke Padang pun, di sela-sela macet kembali ku buka soal-soal TPA itu. Beruntung, pada malam terakhir di Medan, sodaraku yang mempunyai Buku TPA yang katanya cocok untuk tes PNS pun ku pinjam dan ku bawa ke Padang. Soal dan buku itulah yang ku balik-balikan di atas mobil. Jika sudah mulai terasa mual, kepala sedikit bereaksi, ku hentikan membahas soal.
    Perjalanan pulang ke Padang pun menjadi saksi betapa tertekannya diriku untuk menghadapi tes yang kedua ini. Mulai dari susahnya mencari jalan tol keluar Kota Medan, hingga malam-malam salah jalan selama 1 jam perjalanan, dan jalanan itu BERGELOMBANG dan BERBELOK-BELOK.
    Rencana awal keluar dari Medan tidak menggunakan jalan tol karena tidak tau jalan menuju jalan tol tsb. Namun, kami berubah pikiran. Untuk mempercepat perjalanan, Om ku pun dengan bakat "sok tau" nya penasaran ingin mencari jalan menuju jalan tol supaya dengan cepat keluar dari kota Medan. Telpon ke sana ke mari untuk mencari jalan, alhasil kami pun sukses melewati 3 kali putaran jalanan yang sama. Masih dalam kondisi bingung, setelah masuk pertigaan yang satu lalu keluar, dan masuk pertigaan yang lainnya, dan keluar lagi. Kami tetap tidak menemukan jalannya. Putus asa pun datang menghampiri, akhirnya diputuskan untuk melanjutkan rencana pertama. Lanjut melalui jalan dalam Kota Medan yang kemungkinan akan macet.
    Mobil pun melaju, tidak begitu kencang. Tiba-tiba, terdengar sirine Ambulans dan Mobil Ambulans tersebut melewati Kami. Ngga mau ketinggalan, atau untuk menutupi rasa kecewa, Om ku pun memacu mobilnya dengan kencang, sehingga kami beriring-iringan dengan Ambulan. Sukses 20 menit mengikuti ambulans, perjalanan pun dihadapkan pada simpang besar. Ambulan mengikuti jalur lurus, kami belok ke kiri. Dan, lagi-lagi salah jalan. Harusnya, kami tetap mengikuti Mobil Ambulans tadi, karena jalan yang seharusnya adalah lurus, bukan belok kiri.
    Dan benar saja, setelah ditinggalkan ambulans, Kami pun terjebak macet. Di sepanjang jalanan yang macet ternyata terdapat Sebuah Pasar di pinggir jalan tersebut, dan macet pun menghantui selama kurang lebih setengah jam.
    Tidak terasa 5 jam perjalanan telah berlalu, hingga kami tiba di Prapat. Hamparan luas Danau Toba seolah memisahkan ku antara Padang dan Medan. Padahal, Padang dan Medan tidak dipisahkan oleh perairan. Mungkin khayalan ku saja yang terlalu tinggi *hehehe.
    Kami pun singgah di suatu warung di pinggir Danau Toba untuk istirahat dan makan siang. Dari warung itu, terlihat betapa luasnya Danau Toba. Hijau, angin sepoi-sepoi, dan terlihat juga bukit-bukit yang mengelilingi danau Toba. Mama dan yang lainnya sudah memulai makan bekal yang sudah disiapkan sebelum berangkat tadi Pagi. Hingga setengah perjalanan makannya, aku masih sibuk mengambil gambar dan video Danau Toba nan Indah. Rasanya, lambungku sudah penuh karena menghirup udara sejuk dan melihat pemandangan Danau Toba dari ketinggian sekitar 20 meter. Lalu, Mama pun mengingatkanku untuk segera makan. Tidak berakhir di situ, aku pun makan dengan cepat sambil melihat ke arah Danau Toba. Daun pisang yang membungkus nasi ku pun hampir saja diterbangkan angin, tapi kutahan. Dan akhirnya, aku sendiri yang menerbangkan daun pembungkus nasi ku tadi ke arah Danau Toba, berharap aku menjadi sekecil semut dan dapat berlayar ke samosir dengan menggunakan Daun Pisang pembungkus nasi itu, sungguh itu hanya khayalan ku saja. Selesai makan, aku pun melanjutkan dengan berfoto kembali. Senang rasanya bisa membingkai danau Toba ke dalam sebuah gambar, dengan kamera ku yang sederhana ini. Kamera yang kubeli dengan hasil tabungan selama lebih dari 2 tahun, dan juga telah mengiringi perjalanan ku sebelumnya, dari Barat Sumatera hingga ke Timur Jawa.
    Pada malam harinya, kami singgah di 2 warung berbeda waktu itu.
    Pertama, kami makan di warung yang pernah ku kunjungi waktu ke Medan beberapa bulan lalu (Januari 2013). Kemudian, perjalanan dilanjutkan masih dikomandoi oleh Om ku. Berikutnya, singgah warung kenalan Om ku. Om ku pun  bercengkrama dengan pemilik warung itu. Dengan menggunakan logat Medan setengah Minang, mereka terlarut dalam pembicaraan yang cukup serius. Yang ku dengar, mereka membicarakan bisnis Travel. Kebetulan, sejak beberapa jam di perjalanan tadi, perutku sudah mulai bereaksi. Sepertinya, ada yang harus dikeluarkan dari dalam perut ku ini, setelah memakan beberapa Jeruk yang sudah dibeli di pasar pinggir jalan ketika di perjalanan tadi. Aku pun meminta izin untuk ke toilet pemilik warung, yang memang biasanya toilet itu terletak di bagian belakang. Sebenarnya, aku pun tak ingin menceritakan sesuatu tentang toilet. Tapi, yang ku alami di toilet itu, aku melihat sesuatu yang aneh, jarang sekali ku lihat. Dari dalam toilet, kulihat benda aneh seperti tengkorak manusia di atas atap bagian luar di samping toilet. Ku usap mata ku, berharap yang ku lihat bukanlah nyata, lalu ku lihat ke arah benda itu kembali. Tak ada bedanya, yang ku lihat adalah sesuatu yang sama. Bulu di sekujur tubuh langsung berdiri, dan aku pun segera menyudahi segala sesuatunya di toilet itu dengan tergesa-gesa. Perutku memang sudah enak, tapi hati dan pikiran ku yang mulai tak enak sekarang. Keluar dari toilet, ku panggil adikku untuk melihat benda itu. Tapi, dia hanya santai saja. Bocah itu berusaha meyakinkan ku bahwa itu bukanlah suatu benda aneh. Hingga ku putuskan untuk tidak memikirkan hal-hal yang aneh dalam perjalanan yang malam itu. Tengkorak oh tengkorak, enyahlah dari ingatanku....
    Lalu, perjalanan dilanjutkan dengan abangku sebagai komandan. Om ku sangat lelah setelah seharian menyetir, lalu ia mencoba tidur di bangku paling belakang sejenak. Abangku memang tidak tau sama sekali jalan pulang ini. Ia hanya berusaha mengikuti jalan raya dengan feeling yang kuat. Daaaaaaaaaaan, feeling yang kuatpun dikalahkan oleh jalan yang salah. Saking kuatnya feeling abangku ini, sampai-sampai ia memilih jalan yang salah (ke arah Madina) untuk dilalui. Satu jam lebih memasuki jalan ini, Om ku dengan seribu pengalaman perjalanan (Sopir travel) terbangun dari tidurnya. Merasa jalannya yang jelek, rusak, dan berbelok-belok bukan jalan yang tepat, dia dengan senang hati menyebutkan bahwa ini bukan jalan ke Padang, alias salah jalan. Dan judul perjalanan malam itu adalah "Tengah Malam Jalan-Jalan, alias nyasar". Kemudian, abangku langsung membalikkan kepala mobilnya ke arah yang berlawanan dengan jalan ini. Dibutuhkan waktu sekitar satu jam untuk keluar dari jalan ini. Setelah keluar, Om ku langsung mengambil alih komando dan abangku pun diberi amanat untuk beristirahat di bangku belakang. 2 jam yang terbuang dan menghabiskan tidak sedikit bahan bakar. Waaaaaaaw.....
    Paginya, jarum alat ukur bahan bakar yang tersisa terletak di petak pertama. Artinya, bahan bakar harus segera diisi. Dan, sampailah kami di Pertamina. Di tempat pengisian bahan bakar itu tidak ada antrian mobil dan motor. Terang saja, LISTRIK PADAM. Akhirnya, kami menunggu hingga setengah jam lebih di Pertamina yang sama pada saat perjalanan pulang ke Medan (Januari 2013) lalu.
    Hampir sampai di daerah Bukittingi, Om ku terus menyetir dengan keadaan setengah lelah (baca : setengah ngantuk). Kendaraan tidak dipacu dengan kencang. Selain jalannya yang berbelok-belok, Om ku mungkin juga ingin bersantai. Jalan tidak begitu sempit. Tiba-tiba terdengar bunyi secamam benturan, tidak begitu kuat. Di sisi kiri, kulihat 1 sepeda motor jatuh. Ya Tuhaaan, apa lagi ini yang terjadi???
    Om ku pun turun dari mobil, diiringi Om ku yang satu lagi serta abangku. Lebih dari setengah jam aku menunggu di Mobil. Aku memilih untuk tidak turun, tidak ikut campur dalam penyelesaian masalah itu, begitu pula dengan Mamaku.
    Kembali ke Mobil, Om ku bercerita bahwa ia telah mensedekah hartanya sebanyak 150rb, dengan meminjam uang abang Om ku 50rb. Padahal, jika sedikit lebih hati-hati, kejadian ini mungkin bisa dihindari
    Ada-ada saja peristiwa yang terjadi pada perjalanan pulang kali ini. Tambah gelisah hati dan pikiranku karena kejadian Unpredictable ini. Perkiraan sampai di rumah pun meleset. Padahal, sebelum ke kosan, aku berpikir untuk tidur sebentar di atas kasur kapukku yang sangat empuk itu. Kupikir akan sampai di rumah jam 9, eh ternyata ngaret 4 jam. Jam 1 kami baru sampai di rumah.
    Ku persiapkan lah barang-barangku untuk berangkat ke Padang. Mengingat, besoknya aku harus hadir jam 8 pagi di kampus untuk mengikuti tes kedua itu. Dan akhirnya, akupun di antarkan oleh Kereta Api Pariaman-Padang untuk sampai ke kos ku.
    Hari sudah senja saat aku tiba di kosan. Adzan maghrib sudah berkumandang sebelum aku menginjak halaman kosan. Aku pun buru-buru ke kamar, meletakkan barang ku dan ingin segera mengerjakan solat maghrib. Lalu, ku ambil air wudhu ke kamar mandi. Betapa lemasnya aku kuluar dari kamar mandi. Tamu bulananku datang, alias "dapet" (menstruasi). Aku tak bisa membayangkan untuk besok, mengerjakan tes dengan hari pertama datang bulan, semoga tidak perih dan tidak mengganggu tes ku. Memang, biasanya aku tidak mengalami sakit yang begitu parah ketika menstruasi seperti yang banyak dialami oleh perempuan lain pada umumnya. Tapi, rasa cemas itu datang karena aku besoknya harus mengikuti tes. Berharap aku akan baik-baik saja tanpa rasa sakit di kepala dan perut ku.
    Di kosan hati dan pikiran ku tetap gelisah. Tak tau apa yang harus ku jawab untuk tes itu. 2 buku TPA yang dipinjamkan oleh seniorku ku bahas bergantian. Ku bahas soal-soal itu di kamar sendirian. Jenuh. Rasanya kepala sudah penuh akan kata-kata yang berulang kali ku baca dan hu hafalkan. Dan, jam 11 akupun menyerah. Rasa kantuk datang menyerang ku. Hal yang paling tidak bisa ku tahan adalah kantuk. Dari pada menahan kantuk, lebih baik aku menahan lapar. Jam 11 itu ku matikan lampu, dan sebentar saja ku tempelkan kepala ke bantal, aku pun tertidur. Tidak lupa sebelumnya ku pasang alaram jam 05.30 di hp ku. Tidurku sangat pulas. Mungkin memang karena terlalu lelah. Dalam tidurku, aku tak mengalami mimpi apa pun. Berharap alaram akan membangunkan ku esok harinya
    Pagi itu, tak ku duga tak ku sangka, aku terbangun jam 3 pagi. Ooou....................gh, betapa resahnya aku terbangun jam 3 itu. Bukan hantu yang ku takutkan. Tapi, jika ku lanjutkan tidur, maka aku akan bangun jam 7 pikirku, atau paling cepat jam stengah 7. Hal itu akan membuatku terlambat datang ke kampus. Lalu 10 menit ku pikir-pikir lagi, dan akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan membahas soal-soal TPA. Ku pikir kepala ku akan sakit karena membahas soal dan kehilangan waktu tidur selama 3 jam. Ternyata, kondisi ku baik2 saja dan dengan penuh semangat ku bersiap-siap untuk ke kampus.
  • Di kelas yang telah ditetapkan, aku pun masuk dan melihat sudah banyak peserta menempati tempat duduk. Tanpa ku minta, sang ketua Panitia langsung menyapa ku dan menyuruh ku untuk duduk di depan. Tapi aku menolak. Ku pilih untuk duduk di bagian belakang, di bagian kiri. Sang ketua panitia adalah temanku, yang sebelumnya aku tidak mengetahui bahwa Ia adalah Ketua Angkatan tahun lalu pada beasiswa tersebut. Kulihat banyak teman sefakultas mengikuti tes ini. Di antaranya, terdapat orang-orang yang ku kenali cukup dekat. Si S dan A, 2 lelaki aktivis yang sering ku ajak berdiskusi di luar kelas.
    Tes pun dimulai. Saat melihat soal bagian pertama, pikiranku melayang-layang entah kemana. Sungguh aku tidak bisa fokus di tes pertama ini. Soal bacaan yang begitu panjang, entah harus dimulai dari mana. Dan hanya 3 soal yang ku jawab dari 10 atau 15 soal itu. Sementara 2 bacaan soal lagi hanya terbaca, tidak sempat kujawab pertanyaannya. Hingga soal-soal berikutnya, ku akui memang tidak gampang. Masih dalam soal bagian pertama, belum masuk ke bagian kedua, aku pun optimis GAGAL.
    Pada soal gambar pun aku merasa pesimis. Bakat menggambar yang bisa dikatakan tidak ada sama sekali melekat dalam diriku.
    Tes pun berakihr. Hari pertama menstruasi ku pun dijalani tanpa rasa sakit. Bersyukur sekali rasanya ketika pusing dan perih tidak menemaniku di hari pertama itu. Kemudian, 1 jam menunggu pengumuman kelulusan, aku bercengkrama dengan S dan A di sebuah warung kecil milik seorang Ibu yang sudah berumur di kampus. Berbincang-bincang mulai dari hal kecil di kampus, aku pun terlibat perbincangan tingkat tinggi layaknya aktivis kampus. Analisa temanku yang 2 itu memang tajam, sampai ke akar-akarnya. Diam-diam, aku terkagum-kagum kepada mereka yang penampilannya biasa saja, malah sangat sederhana. Di tengah perbincangan, ku keluarkan wafer dari tas ku, bekal yang sudah kepersiapkan tadi malam. Terkuras juga ternyata otak dan tenaga membahas soal-soal tadi. Rasa lapar datang mendekat. Untungnya ada bekalku, roti wafer yang sering dibeli oleh Mamaku di rumah. Kami pun memakannya bersama-sama.
    Lalu, ku ajak mereka pulang, karena firasatku mengatakan bahwa aku tak lulus. Firasatku pun tepat. Aku tak lulus ke tahap selanjutnya. Seirama dengan ku, si S dan A juga tak lulus. Akupun pulang ke kosan ku dengan meminta tebengan si A, sementara si S ingin tetap bertahan di kampus sambil menjelajah dunia maya di Perpustakaan Pusat.
    Awalnya, penyesalan tidak datang menghampiriku. Aku masih tertawa dengan kawanku si A itu. Ku terima tawaran si A yang menebengiku hingga aku mendapat angkot putih menuju rumah Tanteku. Ku ingin menginap dulu di rumah tanteku sebelum pulang ke rumah (Pariaman). Di rumah tanteku, ada seorang anak kecil yang dapat dengan mudah menghiburku, sehingga aku dapat melupakan kegagalan hari itu. Zahra, putri cantik yang lebih mirip orang Bule itu selalu membuatku tertawa. Dan hanya dialah yang kuharapkan dapat menghiburku saat itu.
    Mungkin beasiswa tersebut memang bukan jalanku, tak ada rezki ku di sana. Aku berusaha mengambil hikmah dari semua ini. Bisa jadi ini pengalaman yang mengajarkanku untuk lebih berusaha dan bekerja keras lagi.
    Keep Fighting . . .